Saturday, May 9, 2009

Semangat Jepang

Menarik kita simak persahabatan Indonesia-Jepang yang kini berusia 50 tahun. Awal jalinan persahabatan dua negara itu ditandai penandatanganan Pakta Perdamaian untuk hubungan diplomatik pada 20 Januari 1958. Artinya, persahabatan tersebut memposisikan dua negara dalam tingkat setara: berdaulat dan merdeka.

Puncak serangkaian acara Golden Year of Frienship 2008 Indonesia-Jepang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah, Ahad kemarin. Jepang mengutus Pangeran Akishino dan istrinya Putri Kiko untuk menghadiri acara puncak tersebut. Memperingati 50 tahun persahabatan Indonesia-Jepang ini, akan sangat bermanfaat bila kita mau belajar dari Jepang dan membandingkan perkembangan dua negara. Apalagi banyak kemiripan antara Jepang dan Indonesia. Intinya: mengapa Jepang maju dan Indonesia terus terpuruk?

Perang Dunia II boleh dikata telah menghancurkan Jepang, terutama ekonominya. Hiroshima dan Nagasaki rata dengan tanah terkena bom atom. Bahkan Jepang merupakan negara satu-satunya di dunia yang pernah dibom senjata nuklir. Namun, dalam waktu singkat bangsa Jepang bangkit. Kini Jepang merupakan salah satu negara ekonomi raksasa di dunia.

Dari segi politik, Jepang mengalami perubahan radikal. Sistem monarki absolut sebelum Perang Dunia II berubah jadi kekaisaran konstitusional. Kaisar hanya sebagai kepala negara yang tugas-tugasnya hanyalah seremonial. Sedangkan pemerintah dijalankan Perdana Menteri yang dipilih parlemen. Anggota parlemen dipilih langsung oleh rakyat. Sistem demikian merupakan perubahan radikal karena sebelumnya kaisar mempunyai kekuasaan absolut yang turun temurun.

Dari sisi ekonomi, Jepang hanya mempunyai sumber alam terbatas. Ekonomi Jepang lebih banyak bertumpu pada keterampilan dan semangat warganya. Mereka pekerja keras, ulet, dan banyak belajar dari kemajuan negara lain (Barat). Menyadari sumber alam yang terbatas, mereka mengimpor bahan mentah dari negara lain, lalu mengolahnya menjadi produk-produk berkualitas, dan kemudian menjual/mengekspornya kembali ke negara-negara lain. Kini tak ada satu negara pun di dunia yang tidak kebanjiran produk Jepang. Tentu dengan harga yang mahal dibandingkan dengan bahan mentah yang mereka impor.

Sementara itu, Indonesia sepertinya jalan di tempat. Semasa Orde Lama kita lebih banyak diwarnai pertikaian politik. Pada Orde baru, meskipun ekonomi Indonesia berkembang pesat, namun dibangun di atas pondasi yang keropos. Dihantam krisis ekonomi sedikit, Indonesia langsung mengalami krisis berkepanjangan. Kini, setelah sekitar sepuluh tahun reformasi, kita pun tak kunjung bangkit. Perubahan sistem politik dari sistem otoriter yang mengantarkan Soeharto berkuasa selama 32 tahun ke sistem demokrasi, belum menampakkan perbaikan bagi kesejahteraan rakyat.

Demokrasi kita baru sebatas perebutan kekuasaan. Lihatlah betapa enerji kita habis hanya untuk mengurus sengketa pemilihan kepala daerah. Sementara setelah berkuasa mereka sibuk dengan dirinya sendiri, menumpuk harta tanpa malu meskipun didapat dari korupsi. Lalu kapan kita memikirkan kesejahteraan rakyat? Sedangkan ribuan SDM yang berkualitas yang yang dikirim sekolah ke luar negeri zaman BJ Habibie pun kini juga kita telantarkan.

Memperingati 50 tahun persahabatan dengan Jepang, sekali lagi, tidak boleh hanya seremonial. Kita harus belajar banyak dari Jepang. Dari semangat dan budaya Jepang. Yaitu: bekerja keras, ulet, dan terus meningkatkan kualitas SDM. Lainnya: harus ada budaya malu. Ketahuan korupsi harus mundur. Pejabat yang tidak mampu harus minggir.


Republika Online

No comments: